Gugatan dikabulkan,
Akhirnya 320.000 Mahasiswa Kesehatan bisa bernafas lega
Jakarta, Sinyalnews.com,- Perjuangan panjang Universitas Fort De Kock, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indnesia (APTSI), Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan (Hpetkes) akhirnya berbuah manis dengan, dibatalkannya keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia, nomor 62/P/2022 tanggal 11 Februari 2022 tentang komite nasional uji kompetensi mahasiswa bidang
kesehatan.
Pasalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, memerintahkan kepada menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencabut surat keputusan tersebut karena, dianggap sebagai surat keputusan yang bertentangan dengan asas umum pemerintahan uang baik dan menimbulkan akibat hukum dalam bentuk kerugian bagi para Mahasiswa dan juga perguruan Tinggi.
Perjuangan Universitas Fort De Kock (UFDK), APTSI dan HPtkes melalui gugatan ke PTUN Jakarta dilatar belakangi, persoalan adanya tuntutan dari 3 orang mahasiswa Universitas Fort De Kock (UFDK) yang gagal wisuda, sehingga tidak bisa melanjutkan studi lebih lanjut ataupun melamar pekerjaan tertentu, karena terhalang memperoleh ijazah.
Akibat tidak bisa diluluskan sebagai akibat belum mempunyai sertipikat kompetensi, tuntutan ditujukan terhadap UFDK sebagai kampus yang dianggap menghalang-halangi hak mereka untuk mendapat pekerjaan.
Dimana tuntutan para mahasiswa tersebut diajukan melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Bukittinggi, mahasiswa (Penggugat) menuntut agar kampus meluluskan mereka dan memberikan ijazah karena mereka telah menyeselesaikan seluruh bidang studi selama masa perkuliahan sesuai dengan kurikukulum yang berlaku.
Mahasiswa menuntut ganti rugi sejumlah uang karena merasa telah dirugikan secara materil dan immateril.
Pada saat dimulainya pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi, pada proses mediasi tercapai suatu kesepakatan perdamaian antara Para Mahasiswa (Penggugat) dengan pihak UFDK (tergugat).
Adapun yang menjadi poin pokok dalam perdamaian disepakati UFDK akan memperjuangkan aspirasi para mahasiswa yang terhalang untuk, memperoleh ijazah tersebut kepada pihak yang memiliki kontrol dengan mengambil alih kewenangan pihak kampus dalam memberikan ijazah sebagai tanda bukti mahasiswa telah menyesaikan seluruh studinya,
Dimana akar masalah ada pada komite ujian kompetensi nasional yang dibentuk oleh Mendikbud yang mensyaratkan sertifikat kompetensi sebagai persyaratan untuk tamat pendidikan vokasi tenaga kesehatan, selama belum tamat selanjutnya dari para mahasiswa yang sudah selesai studi dibebaskan dari biaya kuliah sampai mereka bisa dinyatakan lulus.
Komitmen dalam kesepakatan damai tersebut kemudian dilanjutkan, dengan dilakukannya konsolidasi pada organisasi yang menaungi UFDK yaitu HPtkes dan Aptsi, dari hasil himpunan data yang diperoleh, seluruh anggota Aptsi (ada sekitar kurang lebih 3.500 perguruan tinggi seluruh Indonesia) dan anggota Hptekes (1.600 perguruan tinggi kesehatan), ternyata dalam perhitungan yang dikumpulkan sekitar 320.000 mahasiswa telah menjadi korban seperti mahasiswa UFDK (tidak dapat memperoleh ijazah karena belum lulus uji kompetensi), bahkan terbuka kemungkinan kampus II lain akan dituntut oleh Mahasiswanya yang terhalang menamatkan studi, padahal para mahasiswa telah menyelesaikan seluruh studinya.
Berdasarkan permasalahan yang dialami oleh UFDK maka Aptsi dan HPTEKES sepakat secara bersama-sama memperjuangkan nasib para mahasiswa dengan langkah litigasi (jalur hukum) mengajukan, gugatan ke PTUN dan langkah advokasi non litigasi dengan cara menyampaikan aspirasi kepada DPR RI serta aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh Pergruan Tinggi, menuntut dibubarkannya komite uji kompetensi nasional.
Setelah melalui proses peraidangan di PTUN Jakarta para penggugat telah mengajukan berbagai alat bukti dan menghadirkan para ahli umtuk didengar keterangannya sesuai keahlian.
mereka (ahli Pendidikan Vokasi dan ahli Permasalahan Uji Komoetensi Tenaga Kesehatan), berdasarkan dalil dan bukti yang telah para penggugat ajukan, maka PTUN Jakarta akhirnya memutus perkara dengan hasil yang sesuai harapan yaitu membatalkan surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia Nomor 62/P/2022 tanggal 11 Februari 2022 Tentang Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.
Dengan adanya putusan PTUN Jakarta maka telah terbukti apa yang menjadi alasan tuntutan mahasiswa, UFDK, Aptsi dan Hptkes.
Tim advokasi (Kuasa Hukum) UFDK, APTSI dan HPTKES, Didi Cahyadi Ningrat, Guntur Abdurrahman, Ryan, Ronal Marcelinus, Sarah Eliza Aisyah dan Khairul Abbas merasa bersyukur dan sangat puas atas putusan PTUN Jakarta yang telah memerintahkan Menteri untuk mencabut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 62/P/2022 tanggal 11 Februari 2022 Tentang Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.
Sehingga, kewenangan perguruan tinggi telah dikembalikan sesuai undang-undang Sisdiknas dan undang-undang pendidikan tinggi, yaitu perguruan tinggi berhak memberikan ijazah kepada para mahasiswa sebagai bukti mahasiwa telah menyelesaikan seluruh proses pembelajaran sesuai kurikukum, sedangkan sertifikat kompetensi kembali sesuai fungsinya, yaitu sebagai bukti untuk mengukur suatu kompetensi pada bidang tertentu, tidak memiliki sertipikat kompetensi tidak lagi menjadi penghalang dalam penerbitan ijazah bagi mahasiswa yang telah selesai studi.
Selanjutnya Didi Cahyadi Ningrat dan Khairul Abbas juga menyampaikan, janji dan komitmen dalam poin perdamaian antara UFDK dengan para mahasiswanya, untuk memperjuangkan agar mereka dapat memoeroleh ijazah telah ditunaikan dengan baik.
“Alhamdulillah gugatan kita dikabulkan seluruhnya, insya Allah Mahasiswa akan memperoleh haknya untuk, dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau mencari pekerjaan dengan ijazahnya, jika dalam 14 hari ke depan tidak ada upaya hukum banding dari Pihak Mendikbud,”katanya, Jumat (25/11).
Kemudian, Guntur Abdurrahman menambahkan, dalam sengketa yang telah diputus oleh PTUN Jakarta ini kita tidak berbicara menang kalah. Namun, semua pihak harus lebih melihat ini sebagai upaya menguji untuk menemukan kebenaran dan keadilan.
“Jangan jadikan proses hukum ini sebagai ajang penentuan siapa yang lebih kuat dan merasa paling benar, karena ada ratusan ribu nasib anak bangsa yang jadi pertaruhan dan merasakan akibatnya,” ujarnya.
Ia berharap, jadikan putusan ini sebagai momentum untuk bersama-sama membangun kesepahaman yang bertujuan untuk sama-sama membangun, menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan tenaga kesehatan demi mencapai kemaslahatan sebesar-besarnya yang menjadi tujuan berbangsa dan bernegara.