Oleh; Munzir Jalaluddin
Hargai Keberagaman. Itulah perintah yang terbJan Sampai Tungkek Mambaok Rabah/ Jangan Sampai Tongkat Membawa Rebah aca disalah satu media online “Metrokini.com” . yang ditujukan kepada Forum Masyarakat Minangkabau (FMM). Ada yang menyayangkan penolakan arak-arakan Cap Go Meh.
Perintah ini datang dari salah seorang tokoh adat dari lembaga adat tertinggi yaitu dari LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang salah satu fungsinya adalah melindungi adat dan budaya minangkabau agar tidak tergeser oleh budaya lain sehingga tidak terjadi yang dicemaskan orang tua pendahulu kita “ Alah limau dek binalu, hilang pusako dek pancarian”.
Orang pada tahu bahwa orang minang paling sangat menghargai keberagaman dan diakui oleh dunia. Mungkin yang tidak melihat/mengakui hanya segelintir yang memang tidak senang dg minang walaupun mereka menikmati makan dan hidupnya di tanah minang. Atau bisa jadi datang dari orang minang sendiri yang sudah sangat terpengaruh oleh material , cinta dunia sehingga disebut “Dahulu rabab nan batangkai, kini lagundi nan baguno, dahulu adat nan bapakai, kinilah pitih nan baguno”.
Adat di Minang sangat kuat karena merupakan pedoman hidupnya. Agar tidak tersesat dijalan hidup maka diberi sandi syarak yang mana juga ditopang kokoh dengan Kitabullah. Maka disepakatilah oleh pendahulu kita “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Falsafat ini merupakan filosofi hidup yang dipegang dalam masyarakat Minangkabau, yang menjadikan ajaran islam sebagai satu satunya dan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan. Kitabullah yang dimaksud adalah Al Quran dan dilengkapi dengan sunah Rasulullah. Tetapi sekarang sangat disayangkan ada diantara orang minang, bahkan orang terpandang yang mencoba mengartikan “Kitabullah” menjadi kitab masing-masing agama. Mungkin bisa jadi orang ini tidak mmahami adat atau berupaya untuk mendapat dukungan dari umat agama lain.
Orang minang adalah islam dan kalau keluar dari islam (murtad) maka dibuang secara adat dari tanah minang , tidak boleh tinggal lagi di ranah minang. Tetapi lain halnya suku lain yang bukan islam boleh tinggal di ranah Minang dan bahkan dilindungi. Mereka bebas menjalankan ibadah agama mereka ditempat rumah ibadah yang sudah ditentukan, tetapi mereka harus menghormati masyarakat tempat mereka tinggal yang disebut “Dima Bumi Dipijak Disitu Langik Dijujuang”
Dalam perjalanan sejarah kita ketahui belum pernah ada satu butir batupun yang pernah dilemparkan ke rumah ibadah agama lain. Bukan berarti orang minang penakut akan tetapi orang minang sangat tegas dan keras demi kebenaran tetapi berhati lembut sehingga disebut “Alu tatarung patah tigo, samuik tapijak indak mati”. Akan tetapi bagaimana yang terjadi di daerah lain yang orang islam minoritas ? Adakah masjid pernah dibakar ? Tidak jauh –jauh di tanah Papua saja, pernahkan orang minang dibunuh ? Adakah masjid dibakar ? Dan pada waktu itu mahasiswi Papua di Padang pada cemas akan adanya pembalasan. Adakah pembalasan ? Bahkan saya sendiri memberikan jaminan atas keselamatan mereka. Adakah daeah lain di negeri kita ini yang islam minoritas lalu masjid dibakar ? Lalu alasan apa sehingga harus mengeluarkan pernyataan “ orang Sumbar harus bisa memahami keberagaman berbangsa”?
Kalau dikatakan pada acara Cap Go Meh tidak terdapat acara agama, bisa jadi akibat kekurang tahuan tentang agama minimal belum membaca fatwa Majlis Ulama Indonesia. Bentuk kepemimpinan di minangkabau dikenal dengan istilah “Tungku Tigo Sajarangan, Tigo Tali Sapilin”yang terdiri dari penghulu/ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Ninik mamak mengurus adat, alim ulama (MUI) mengurus agama, cadiak pandai mengurus yang umum dari berbagai disiplin ilmu. Jadi seharusnya ninik mamak sejalan dengan ulama, karena soal agama ya ulama lah yang lebih tahu. MUI sudah dengan tegas mengatakan bahwa pada acara Cap Go Meh ada ritual ibadahnya, tentu dapat merusak aqidah umat islam. Oleh karena itu mari kita menghimbau semua kita agar tidak membiarkan anak kemenakan untuk ikut-ikutan meramaikan atau menghadiri perayaan Cap Go Meh pada hari Minggu tanggal 05 Februari 2023 di Padang agar terhindar dari kerusakan aqidah. Karena orang minang beragama islam maka budaya yang dianutnya tentu budaya islam atau tidak bertentangan dengan islam.
Dikatakan iven Cap Go Meh adalah iven wisata yang dapat mendatangkan wisatawan ke Sumatera Barat. Mohon dilihat nanti berapa banyak wisatawan luar yang datang hanya khusus untuk melihatnya (Datang Khusus Melihatnya) dimana menginapnya, dimana dan apa belanjanya, dan golongan masyarakat mana yang mendapat untung, apa masyarakat kalangan bawah yang sekarang hidup susah dapat bagian untung ? Untuk ini dharapkan Dinas Pariwisata melakukan penghitungan mendalam, sehingga dapat diketahui “lai galeh balabo atau indak, kalau lai sia nan mandapek” Mungkin sangat aneh apabila wisatawan datang ke sumbar untuk menyaksikan budaya luar negeri. Kalau ingin melihat kesenian budaya Cina orang akan datang ke Cina tentunya untuk melihat yang aslinya. Ibarat buka toko jualan souvenir, tentu yang dicari orang adalah barang atau pernak pernik hasil kariya daerah itu. Jadi sangatlah keliru kalau Pemprov melalui Dinas
Pariwisata menjual budaya orang luar bukan menjual budaya local. Merek rumah makan padang dijua pizza, takicuah orang balanjo, bisuaknyo indak datang lai.
Kita tentunya sangat mengharapak kepada semua pihak terutama ninik mamak/pemimpin yang ada dan peduli akan keutuhan adat dan budaya minangkabau untuk sama-sama bahu membahu agar adat dan budaya kita tidak hilang atau berganti dengan budaya lain “Jalan dialiah rang lalu, Cupak dipapek rang pangaleh”. Apalagi jan sampai tajadi “Tungkek Nan Mambao Rabah”.
Padang, 04 Februari 2023