Padang Panjang, Sinyalnews.com – Tanggal 1 Agustus 2025 mestinya tak akan dilupakan oleh puluhan tenaga harian lepas (THL) kebersihan Dinas Perkim Padang Panjang. Bukan karena mereka menerima penghargaan atas kerja keras membersihkan kota selama bertahun-tahun. Bukan pula karena kenaikan status atau kesejahteraan yang pernah dijanjikan. Tapi karena di hari itulah, mereka secara resmi dirumahkan. Dihentikan. Dikesampingkan.
Ramon (47), salah seorang dari mereka, menyuarakan kegundahan yang mewakili banyak hati: “Tahun ajaran baru ini saya baru pinjam uang di bank buat biaya masuk kuliah anak. Yang satu masuk SMA, satu lagi SMP. Sekarang saya dirumahkan. Gimana saya mau cicil angsuran bank? Dulu katanya mau mensejahterakan kami, pasukan oranye. Sekarang malah kami yang pertama dibuang.” Kalimat itu mestinya cukup membuat siapa pun di kantor wali kota dan DPRD merasa malu.
Lihatlah kota ku , Sampah semakin menumpuk. Jalan-jalan kota mulai berbau. Kontainer sampah meluap, dan tak ada yang menyapu daun kering atau plastik berserakan. Pemandangan ini bukan sekadar persoalan kebersihan, ini cermin kegagalan tata kelola.
Para THL kebersihan ini bukan tokoh politik. Mereka tidak punya baliho, tidak punya panggung, tidak bisa menekan lewat lobi. Mereka hanya punya sapu, karung, gerobak dorong, dan loyalitas yang mereka bawa sejak pagi buta menyusuri trotoar dan drainase kota. Mereka menjaga citra kota lebih dari banyak pejabat yang hanya tampil rapi di depan kamera.
Mereka tidak pernah menuntut lebih. Tapi ketika akhirnya ada janji “akan disejahterakan”, “akan diangkat”, “akan diperjuangkan”mereka menggantungkan harap. Harapan yang kini berguguran satu per satu, bersama angsuran bank dan biaya pendidikan anak-anak mereka.
Dan ironisnya, ini terjadi di tengah euforia menyambut 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Ketika kota bicara soal “jejak perjuangan”, para pekerja kebersihan justru menjadi korban pengabaian. Apa arti perayaan kemerdekaan jika warga kecil justru kehilangan hak atas pekerjaan dan masa depan?
Kita patut bertanya: Apakah ini bentuk kebijakan yang adil? Apakah benar tidak ada solusi lain selain merumahkan? Apakah benar Pemko dan DPRD tidak bisa berbuat apa-apa, atau sebenarnya memang tidak mau?
Kita tahu, anggaran daerah selalu bicara soal “skala prioritas”. Sayangnya, di kota ini, yang menyapu kota bukan prioritas. Yang membersihkan sampah dianggap sampah. Yang tidak tampil di podium dianggap tidak penting.
Opini ini bukan untuk mengemis belas kasihan. Ini adalah pengingat, bahwa di balik slogan pembangunan, ada nyawa-nyawa yang kini kehilangan arah. Dan bila kota ini masih punya nurani, sudah seharusnya suara Ramon dan kawan-kawannya didengar kembali. Bukan dijanjikan lagi. Tapi dipulihkan. Sekarang
Kami tidak anti efisiensi. Tapi menghapus pekerjaan orang kecil tanpa solusi bukan langkah cerdas, melainkan tanda pemerintahan yang lupa prioritas. Kota bersih bukan karena seminar atau jargon, tapi karena keringat tukang sapu.
Harapan kami sederhana
 1. Angkat kembali THL kebersihan, atau setidaknya beri solusi kerja yang setara.
 2. Kaji ulang kebijakan efisiensi yang mengorbankan layanan dasar.
 3. Transparan kepada publik, siapa yang membuat keputusan ini, dan atas dasar apa?
Di Kota yang hanya 23 KM persegi,2 Kecamatan dan 16 Kelurahan ini, Jika pemerintah bisa membayar acara seremonial atau studi banding, tak masuk akal bila tak sanggup menggaji petugas kebersihan. Merdeka bukan soal upacara mewah, tapi ketika rakyat kecil bisa hidup layak dan dihargai.
Kita tak butuh kota yang hanya bersih di media sosial. Kita butuh kota yang bersih karena manusianya dihargai.














